Rabu, 19 Desember 2012

kumpulan makalah smester 3.

Diposting oleh Randaagustina di 04.10 1 komentar

Oleh : Randa Agustina
NIM: 1101110015
“tugas  karya ilmiah akhir smester HADIS AHKAM  A”
Kawin Mut’ah

BAB I
Pendahuluan
Di susunya karya tulis ini berdasarkan maraknya persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat mengenai “NIKAH MUT’AH”  penulis bertujuan menyampaikan beberapa pemahaman tentang Nikah Mut’ah , baik dari segi arti dan penjelasannya. Beberapa pendapat para ulama , dan beberapa dalil-dalil yang menjelaskan Nikah Mut’ah , baik bersifat mendukung ataupun bersifat menentang , yang di kutip dari beberapa kitab-kitab hadis shahih.
Banyak yang beranggapan bahwa nikah mut’ah masih di perbolehkan pada masa Rasulullah , sahabat dan khalifah hingga saat ini. Bahkwan untuk para pengikut Mazhab Syi’ah Nikah Mut’ah atau Nikah Kontrak di halalkan. Entah berdasarkan dalil Al-qur’an ataupun dari hadis-hadis yang dapat memperkuat pendapat ulama-ilama syi’ah .  Berikut penjelasannya  yang akan penulis sampaikan di dalam karya tulis ini.












BAB II
Pembahasan
A.Pengertian Nikah mut’ah
Nikah mut’ah adalah Kawin sementara atau kawin terputus yaitu orang lelaki mengadakan akad dengan perempuan untuk untuk sehari , seminggu , atau sebulan. Dan di namakan mut’ah karena orang lelaki memanfaatkan dan menikmati perkawinan serta bersenang-senang hingga tempo yang telah di tentukan waktunya. Imam-imam mazhab tentang keharamannya. [1]
(يا ايُّهاَ انِّاَ سُ إنّي ڬُنْتُ اَذِ نْتُ لَڬُمْ فِي اِلا سْتِمْتَاعِ اَلاً وَ اِنّ الله قَدْ حَرّ مَهَا اِلىَ يَوْمِ القِيَا مَةِ)
Hai sekalian manusia, pernah kuizinkan kalian melakukan kawin mut’ah . ketahuilah , sesungguhnya allah telah mengharamkan hingga akhir kiamat ”.( H.R Ibnu Majah)[2]
Penulis: Mut’ah artinya bersenang-senang, adapun nikah mut’ah yaitu suatu pernikahan yang bertujuan hanya untuk bersenang-senang dengan di batasi waktunya. Pengertian dari pernikahan sendiri adalah.suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam suatu ikrar yang menghalalkan hubungan mereka. Yang mana bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa[3]. Serta yang menjadi tujuan awal adalah memiliki keturunan yang soleh dan sholehah. Jika di lihat dari pengertian dan tujuan nikah mut’ah , sangat bertentangan dengan apa yang telah digambarkan dalam Al-qur’an mengenai pernikahan. Karna nikah mut’ah bertujuan hanya untuk bersenang-senang dan melampiaskan hawa nafsu sesaat. Dan itu  sangat merugikan bagi pihak perempuan saja, wanita yang di nikah mut’ah (kontrak) akan di tinggalkan apabila telah habis masa perjanjian atau habis kontraknya tanpa ada kewajiban untuk memberi nafkah pada masa iddahnya, Sungguh sangat merugikan bukan?
Nikah tidak sah dengan di batasi berlakunya, baik pembatasan waktu yang maklum atau tidak sebab ada kesahihan larangan dalam nikah Mut’ah (kawin kontrak), yaitu kawin yang di batasi waktu pertaliannya, sekalipun seribu tahun.[4]
Nikah mut’ah yang di lakukan oleh bangsa Arab terdahulu apabila seseorang datang ke suatu daerah  untuk beberapa waktu dan sama sekali tidak mempunyai kenalan untuk menjaga rumahnya. Dia akan mengawini wanita yang ada di daerahnya untuk menenaminya dan menjaga rumahnya selama dia berada di daerah tersebut. Sehingga wanita tersebut dan akan menjadi istrinya serta menjaga rumah suaminya. [5]
Penulis : Adapun nikah mut’ah yang di lakukan pada masa Nabi dan khalifah . pada saat penaklukan kota mekkah (Perang Khaibar). Di takutkan apabila susah bagi laki-laki menahan syahwatnya ketika jauh dari istri-istrinya dalam waktu yang cukup lama. Untuk menghindari akan timbulnya zinah dari ketidak sanggupan mereka menahan hawa nafsunya. Maka rasulullah memperbolehkan kawin mut’ah tersebut dalam hal-hal yang di anggap darurat saja. Berangsur-angsur larangan nikah mut’ah tersebut di larang ketika bayak yang melakukan nikah mut’ah secara berlebih-lebihan. Sampai pada kepemimpinan khalifah Umar, bahwa kawin mut’ah ini sudah benar-benar di haramkan sampai hari kiamat.  
عَنْ قَيْسِ قَا لَ سَمِعْتُ عَبْدَ ا للهِ يَقُوْ لُ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ صل ا لله عليه و سلم لَيْسَ لَنَا نِسَاءُ فَقُلْنَا ألَا نَسْتَخْصِي فَنَهَا نَا عَنْ زَلِكَ ذَ ثُمَّ رَخِّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِثَّوْبِ إِلىَ أَ جَلِ ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ اللهِ (ياَ أَيُّها الذِ يْنَ اَمَنُوا لاَ تُحَرِّ مُوا طَيِّبَاتِ مَا أَ حَلَّ ا للهُ لَكُمْ وَ لَا تَتَدُوإِنَّ ا للهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِ ينَ)
“Di riwayatkan dari Qais ia mengatakan “Aku pernah mendengar Abdullah bin Mas’ud , ia menuturkan, “kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah tanpa membaawa isteri kami bertanya kepada beliau, “Boleh kami berbuat semaunya untuk melampiaskan syahwat kami ? Terbyata beliaumelarang kami dari ysang demikian itu. Kemudian belaiu member dispensasi kepada kami untuk menikahai  perempuan dengan mahar pakaian, dalam jangka waktu tertentu. Kemudian Abdullah Ma’sud membaca firman Allah. “YAA AYYUHAL LADZIINA AAMANUU LAA TUHARRIMUU THAYYIBAATI MAA AHALLALLAAHU LAKUM WA LAA TA’TADUU INNALLAAHA YUHIBBUL MU’TADIN (wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas.)(Muslim IV:130)[6]
Para ulama Mazhab sepakat bahwa nikah mut’ah itu haram hukumnya[7]. Alasan mereka yaitu : Pertama : kawin seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan dengan yang di maksudnkan oleh al-Qur’an. Kedua ; Banyak hadits-hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya. Ketiga : ketika sahabat yaitu Umar menjadi khalifah dan ia berpidato di atas mimbar dan mengharamkannya dan para sahabat pun menyetujuinya. Keempat : Al-khatthabi berkata : haramnya kawin mut’ah itu sudah ijma’, kecuali oleh beberapa golongan syi’ah. Kelima : kawin mut’ah sekedar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak-anak, yang keduanya merupakan maksud pokok dari perkawinan. Baihaqi meriwayatkan dari ja’far bin Muhammad. Ia di Tanya tentang mut’ah , ja’far menjawab  “Mut’ah sama dengan zinah.“

وَعنه رضى ا الله تعا لى عنه : اَن رسول ا الله صل الله عليه و سلم نهى عَنْ مُتعَةِ ا لِنِّسَا ءِ وَعَنْ اَكْلِ اْلحُمُرِ اْلأَ هْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ. أَخْرَجَحُ السّبْعَهُ إِلَّاأَبَا دَاوُدَ.
Dari padanya r.a “Bahwasanya Rasulullah s.a.w melarang kawin untuk sementara waktu, dan makan keledai kampung pada perang khaibar”. Di riwayatkan oleh imam tujuh kecuali Abu Daud”. [8]
Penulis : beberapa ulama sependapat dengan di haramkannya kawin mut’ah tersebut, lain halnya dengan golongan syi’ah Imamiyah yang mengatakan kawin mut’ah itu boleh. Menurut mereka kawin mut’ah tidak hanya terjadi pada masa nabi dan Abu Bakar. Tetapi juga pada masa pemerintahan kholifah Umar sampai saat ini.Para ulama Sunni dan Syi’I sepakat bahwa nikah mut’ah, berdasarkan keputusan Nabi saw, adalah Halal. Dan bahwasanya kaum muslimin telah melakukannya pada masa hidup beliau. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ada atau tidaknya naskh (penindak berlakuan hukum). Mazhab sunni mengatakan bahwa kawin mut’ah telah di hapuskan dan di haramkan sesudah pernah di halalkan.
اِسْتَمْتَعَ ا لاَ صْحاَ بُ فِى عَهْدِ رَسُلُ اللهِ وَ اَبى بَكْرِ وَ عُمَرَ
Para sahabat di masa Nabi Saw, melakukan mut’ah demikian juga di masa Abu bakar dan Umar”, (Shaih Riwayat Muslim).[9]
Penulis : Sementara itu Syi’ah berpendapat bahwa naskh seperti itu tidak ada . dengan demikian kawin muit’ah  dulu di halalkan dan dan tetap di halalkan hingg akhir kiamat  ptongan ayat al-qur’an yang di jadikan alasan mazhab syi’ah dalam menghalalkan kawin mut’ah .
Q.S An-Nisa : 24
4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù                 
24. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (mut’ahi) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. [10]
Dari berbagai penjelesanan perbedaan pendapat mengenai sah atau tidaknya, haram dan halalnya kawin kontrak tersebut. Lalau bagaimana jika selama kawin kontrak itu berlangsung dan sampai menghasilkan seorang anak. Bagaimana perdebatan mengenai status anak hasil mut’ah ?  
Sebagaimana yang telah di jelaskan di dalam kitab Fiqih Lima Mazhab bawha para ulama Mazhab berpendapat bahwa , Anak mut’ah adalah anak yang sah berdasrakan syara’dia memiliki semua hak yang dimiliki anak-anak yang sah pada lainnya. Tanpa ada pengecualian , baik hak-hak syari’ maupun moral.[11]




BAB III
Penutup
Kesimpulan
          Jadi nikah mut’ah atau kawin kontrak adalah , sutau pernikahan yang mana tujuannya hanyalah untuk bersenang-senang dengan di batasi waktunya, bisa sehari, seminggu, atau sebulan. Dan seorang laki-laki wajib memberikan maharnya kepada wanita yang di nikahinya (mut’ahnya) sebagaiamana yang biasa di lakukan dalam pernikahan permanen. Jangka waktu dalam pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan persetujuan yang telah di sebutkan  pada saat ijab dan qabulnya. Pernikahan ini berakhir tanpa ada talaq dari suami. Setelah istri
            Setelah penulis menjelaskan beberapa hal mengenai kawin mut’ah  atau nikah kontrak . dapat kita pahami bahwa pada dasrany nikah mut’ah tersebut memang sudah ada , bahkan dari pengikut rasul dalam berperangpun ada yang melakukannya (kawin mut’ah). Karna di khawatirkannya ketidak sanggupupan seorang lelaki menahan keinginan syahwatnya pada saat mereka berada jauh dari istri-istrimereka dalam waktu yang lama. Sehingga dalam hal seperti itu atau dalam hal mudharat kawin mut’ah teresebut di halalkan.












Daftar Pustaka
Al-jamal Muhammad  Ibrahim, fiqih muslimah (Jakarta:.Pustaka Amani, 1994)
Abdul Aziz Al-Malibari  bin Asy-syekh Zainuddin . Fathul Mu’in. (Surabaya :Al-Hidayah 1993)

Muslehuddin Muhammad.(M Asy’ari dan Syarifuddin Syukur) Mut’ah. (Surabaya :PT.Bina Ilmu Cet. 1 ,1987).

Nasrehuddin Al-bani Syaikh Muhammad. Ringkasan ahahih muslim.(Jakarta : pustaka As-sunnah.2009)

 Sabiq Sayyid (di terjemahkan oleh Moh. Thalib).Fiqih Sunnah 6. (Bandung : PT. Al-    
 ma’ruf.jalan:Tomblong.no.48-  50.1993).

Sukandy  sjarief Muh. Tarjamah Bulughul Maram (Bandung : PT. Al-ma’arif cet ke 4. 1980 )

Mughniyah Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta:penerbit Lentera,2000).





[1] Ibrahim Muhammad Al-jamal, fiqih muslimah (Jakarta:.Pustaka Amani, 1994). Hal 263
[2] Ibrahim Muhammad Al-jamal, fiqih muslimah (Jakarta:.Pustaka Amani, 1994). hal 264
[3] UUD NO 1 Tahun 1974
[4] Asy-syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. Tarjamah Fathul Mu’in. ( Surabaya :Al-Hidayah 1993). Hal 23
[5] Muhammad Muslehuddin.(M Asy’ari dan Syarifuddin Syukur) Mut’ah. (Surabaya :PT.Bina Ilmu Cet. 1 ,1987).hal 3
[6] Syaikh Muhammad nashiruddin Al-bani. Ringkasan ahahih muslim.(Jakarta : pustaka As-sunnah.2009)hal 517
[7] Sayyid sabiq (di terjemahkan oleh Moh. Thalib).Fiqih Sunnah 6. (Bandung : PT. Al-ma’ruf.jalan:Tomblong.no.48-  50.1993).hal 58
[8] Muh. Sjarief Sukandy Tarjamah Bulughul Maram (Bandung : PT. Al-ma’arif cet ke 4. 1980 )hal 23
[9] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta:penerbit Lentera,2000). Hal 394

[10] Al-qur’an Digital
[11] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta:penerbit Lentera,2000). Hal 394







HUKUM PERDATA ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspeknya. Dalam aspek agama jelaslah bahwa terdapat dua kelompok besar agama yang diakui di Indonesia yakni, agama samawi dan agama non samawi ;agama Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan dan Khatolik. Keseluruhan agama tersebut memilki tata aturan sendiri-sendiri baik secara vertikal maupun horisontal, termasuk dalam tata cara perkawinan.
Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan. Adapun di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur didalam UU No. 1 tahun 1974 Lembaran Negara RI. Tahun 1974 nomor 1. Adapun penjelasan atas Undang-Undang tersebut dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 yang didalam bagian penjelasan umum diuraikan beberapa masalah mendasar.
Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya UU Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka UU ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, sedangkan dilain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan.

2.   Rumusan Masalah
a.       Bagaimana ketentuan umum tentang hukum perkawinan di Indonesia
b.      Apa pengertian, prinsip-prinsip, rukun dan syarat perkawinan
c.       Bagaimana larangan, pencatatan, dan pencegahan perkawinan
d.      Bagaimana pembatalan dan perjanjian dalam perkawinan


3.   Tujuan Masalah
Adapun maksud dan tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami ketentuan umum tentang perkawinan di Indonesia sebagaimana dalam halprinsip-prinsip, rukun, syarat, larangan, pencatatan, pencegahan, pembatalan, dan perjanjian perkawinan di Indonesia. Semua hal tersebuat  disesuaikan dengan perkembangan zaman yang berdasarkan pada hukum islam dan Undang-undang perkawinan.

4.   Ruang Lingkup
Makalah tentang ketentuan hukum perkawinan di Indonesia bisa dijadikan pembelajaran dalam pendidikan untuk menambah ilmu pengetahuan kita sebagai mahasiswa, karena makalah ini sangat penting dalam mengetahui bagaimana peraturan perkawinan yang ada di Indonesia.

5.   Teknik Penulisan
Metode yang digunakan pemakalah dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan buku-buku sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan.















BAB II
PEMBAHASAN
A.   Ketentuan Umum Tentang  Hukum Perkawinan Di Indonesia
Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan. Adapun di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur didalam UU No. 1 tahun 1974.
Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya UU Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan dilain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.[1]
Hukum Perkawinan Islam adalah perkawinan yang didasarkan atas hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam yang terkait dengan pernikahan (Fiqh Munakahat). Materi Fiqh Munakahat sudah diadopsi ke dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, walaupun materi Fiqh Munakahat yang diadopsi itu secara mendetail dimasukan, karena hanya prinsip-prinsip dan pokok-pokoknya saja, yang secara umum telah mengambarkan materi Fiqh Munakahat. Perbedaan materi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan dengan Fiqh Munakahat adalah sebagai berikut:
Pertama : UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sepenuhnya sudah mengikuti Fiqh munakahat, bahkan banyak mengutip lansung dari Al Qur’an dan Hadis. Contohnya: Ketentuan tentang larangan perkawinan dan ketentuan tentang masa tunggu (masa iddah) bagi istri yang bercerai dengan suaminya.
Kedua : Ketentuan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sama sekali tidak terdapat dalam Fiqh Munakahat, tetapi karena bersifat administratif dan bukan substansial dapat ditambahkan kedalam Fiqh Munakahat. Contohnya: pencatatan perkawinan dan pencegahan perkawinan.
Ketiga : Ketentuan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan tidak terdapat dalam Fiqh Munakahat, karena pertimbangan kemashlahatan dapat dikategorikan sebagai Hukum Islam, karena tujuan Hukum Islam adalah untuk kemashlahatan. Contohnya: ketentuan batas minimal umur pasangan yang akan menikah dan harta bersama dalam perkawinan.
Keempat : Ketentuan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan secara lahiriah tidak sejalan dengan ketentuan Fiqh Munakahat, tetapi dengan menggunakan interpretasi dan mempertimbangkan kemashlahatan dapat dikategorikan sebagai Fiqh, karena fikih adalah hasil ijtihad, yang antara lain ditetapkan berdasarkan mashlahat. Contohnya : keharusan perceraian di pengadilan dan keharusan izin poligami oleh pengadilan serta perceraian harus didasarkan kepada alasan-alasan yang sudah ditentukan.
                                                                                                             
B.   Pengertian, Prinsip, Rukun dan Syarat Perkawinan
1.    Pengartian Hukum Perkawinan.
            Dalam bahasa Arab, perkawinan disebut dengan al-Nikah yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad.Sedangkan dalam Istilah para Ulama Fiqh mendefinisikannya dalam berbagai kitab fikih, dimana redaksinya berbeda-beda, tetapi substansinya sama, yaitu: nikah adalah akad yang menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Abu Zahrah menambahkan definisi nikah tersebut dengan kata-kata: saling tolong dan mengakibatkan adanya hak dan kewajiban antara keduanya.[2] Di dalam perspektif Nasional, perkawinan di definisikan sebagai berikut:
a.       Perspektif Undang-undang No. 1 tahun 1974  didalam pasal 1 tentang Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan  seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
b.        Perspektif kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 Bab II kitab I tentang Perkawinan
Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu yang sangat kuat atau mistaqon gholizon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanaknnya adalah ibadah. Perkawinan adalah pernikahan yang didalamnya bermakna ikatan yang kuat(dalam fiqh : mistaqon gholizon). [4]
2.   Prinsip-prinsip Perkawinan
Dalam pasal 3 KHI menyebutkan : “ perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Istilah sakinah, mawaddah, rahmah lebih umum diartikan dengan kehidupan rumah tangga yang penuh ketentraman atau rukun, damai, penuh kasih sayang di antara mereka dan dalam kasih sayang atau keredhaan Tuhan.[5]
Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan
a. Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu :
1)     Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
2)     Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3)     Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
4)     Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
 Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
b.       Prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan, disebutkan didalam penjelasan umumnya sebagai berikut:
1)     Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2)     Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
3)     Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
4)    Undang-Undang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar  dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur.  Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.[6]
5)      Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian.
6)    Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.[7]



3.    Rukun dan Syarat Perkawinan
Pasal 14 KHI menyebutkan rukun perkawinan, sebagai berikut :
“ untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a.      Calon suami                                             d.  Dua orang saksi
b.       Calon istri                                                 e.   Ijab dan kabul 
c.       Wali nikah
Setiap rukun perkawinan diatas, harus bersandar pada syarat-syarat perkawinan, yaitu:
a.      Calon Suami dan Istri (kedua mempelai)
1.      perkawinan didasarkan pada kepada persetujuan calon memepelai yang dapat berupa pernyataan tegas, nyata dengan tulisan, lisan, isyarat atau diamnya seorang wanita tanpa ada penolakan yang tegas darinya.
2.      Berumur 21 tahun, jika belum mencapai 21 tahun harus memperoleh izin dengan menunjuk pasal 6 ayat 1-5 UU No. 1 tahun 1974 berupa izin orang tua, dispensasi mempelai pria sekurangnya berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun.
3.      Kedua calon mempelai satu sama lain tidak terdapat halangan melakukan perkawinan menjadi suami-istri, (pasal 18 KHI) dan Bab VI KHI berupa halangan karena muharrimat (pertalian nasab genetic, semenda dan sepersusuan), masih terikat perkawinan, masih dalam iddah raj’iyah maupun bain, karena salah satunya tidak beragama islam, perkawinan karena memadu istrinya dengan saudaranya atau dengan bibinya dan sebaliknya serta terhadap istri yang telah dili’annya (dalam fiqh, li’an adalah sumpah suami terhadap istrinya ketika menuduhnya berzina).
b.       Wali Nikah
1.      Wali nikah diperlukan bagi mempelai wanita sebagai salah satu rukun perkawinan. Tanpa wali nikah tidak dapat dilangsungkan.
2.      Keadaan wali nikah dalam pasal 20
1)     Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi  syarat hukum islam yakni muslim, akil dan baligh.
2)     Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.[8]

c.       Saksi Nikah
Pasal 24
1)     Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksana akad nikah
2)     Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Yangdapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu ditempat akad nikah dilangsungkan.
d.      Akad nikah
1.      Pelaksanaan akad nikah
Pasal 28 : akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan  kepada orang lain.
Wali nikah yang sah dapat mewakilkan pelaksanaan akad nikah (biasa diwakilkan kepada para Pembantu Pegawai Pencatat Nikah atau Penghulu), baik ia hadir atau tidak hadir ditempat dimaksud dalam akad nikah.
2.      Teknis Pelaksanaan akad nikah dan persyaratannya
Pasal 1 huruf c KHI: akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksiakan oleh dua orang saksi.
Pasal 27 : ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu.
Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Dalam hal calon mempelai wanita atau wakil keberatan calon mempelai pria diwakili maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Ijab dan kabul dalam fiqh islam adalah sighat atau serangkaian lafadz yang menunjuk teradinya transaksi perkawinan antara mempelai pria dan mempelai wanita. Akibat dari ijab dan kabul tersebut terjadilah hubungan keperdataan dan keagamaan, antara mempelai pria  dengan wanita dengan segala akibat hukum didalamnya.[9]

                
C.   Larangan, Pencatatan dan Pencegahan Perkawinan
1.    Larangan Perkawinan
Pada dasarnya setiap laki-laki muslim dapat saja kawin atau nikah dengan wanita yang disukainya. Tetapi segera harus disebutkan bahwa prinsip itu tidak belaku mutlak, karena ada batas-batasnya. Batasan itu jelas disebutkan dalam Al-Quran, terutama dalam surat al-Baqarah dan an-Nisa dan berlaku bagi umat islam dimana pun mereka berada.[10]Larangan perkawinan dijelaskan secara rinci dalam KHI
a.      Larangan kawin karena sebab tertentu
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
1.      Karena pertalian nasab
2.      Karena peratlian kerabat semenda
3.      Karena pertalian sesusuan
b.       Larangan kawin karena keadaan tertentu
Pasal 40 : dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1)     Karena wanita yang bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria lain
2)     Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
3)     seorang wanita yang tidak beragama islam
Pasal 41 :
1)     seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya,
a.      saudara sekandung, seayah atau seibu serta keturunannya
b.       wanita dengan bibinya atau kemenakannya
2)     larangan tersebut pada ayat 1 tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raji’i tetapi masih dalam iddah.
Pasal 42 :  seorang pria dilarang mela ngsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raji’i atau salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raji’i.

Pasal 43 :
1)     dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a.      dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali
b.       dengan seorang wanita bekas istri yang dili’an
2)     larangan tersebut pada ayat 1 huruf a gugur kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 :seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam.[11]
2.   Pencatatan perkawinan
Pasal 5
1)     Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam maka setiap perkawinan harus dicatat.
2)     Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1966 jo  UU No. 32 tahun 1954.
Pasal 6
1)     Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
2)     Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam KHI perkawinan tidak hanya dituntut memenuhi syarat-rukun perkawinan tetapi juga harus memenuhi ketentuan administratif hukum yaitu tercatat dalam catatan perkawinan yaitu dibuktikan dengan Akta Nikah, untuk ketertiban perkawinan (pasal 5). Yang paling mendasar dari pencatatan (administratif) di Kontor Urusan Agama (KUA) didasarkan pada dua persoalan hukum.
1.      Persoalan seleksi calon mempelai
Dengan pencatatn oleh KUA setempat dapat diketahui boleh atau tidaknya perkawinan dilaksanakan secara hukum materil islam.
2.      Bukti Hukum (legalits formal)
Pencatatan perkawinan oleh KUA dibuktikan dengan pembuatan buku Akta Nikah merupakan bukti tertulis keperdataan bahwa telah terjadi perkawinan yang sah secara hukum, tidak ada larangan perkawinan antara keduanya dan telah memenuhi syarat rukun perkawinan. Tanpa adanya buku akta nikah maka perkawinan dianggap tidak pernah ada. Ia merupakan syarat kelengkapan khusus untuk suatu gugatan ataupun permohonan perkara yang diajukan ke Pengadilam Agama sebagai hukum formil yang berlaku. Segala perkara perkawinan bahkan menyangkut akibat perkawinan atau harta bersama, hibah dan yang terkait dengannya harus disertakan akta nikah, jika tidak, maka perkara tersebut akan tidak diterima oleh Pengadilan Agama.[12]
          Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan di lakukan sebagai berikut : [13]
1.      Pencatatn perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam di lakukan oleh pegawai pencatatan sebagaimana di maksud dalam undang-undang No.32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah,  talak dan rujuk.
2.      Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam, di lakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
3.      Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku.

3.   Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan merupakan upaya hukum untuk melindungi setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan dari berbagai tindak hukum yang menyimpang dari aturan hukum islam maupun perundang-undangan.
a.      Dasar hukum pencegahan perkawinan
Pasal 60
1)     Pencehagan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum islam dan peraturan perundang-undangan.
2)     Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 61 :  Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al dien. Sebenarnya dapat pula ditafsirkan bahwa salah satu pihak adalah pemadat, pemabuk, pezina atau buruk akhlaknya.
Pasal 62 :
1)     Yang dapat mencegah perkawinan ialah keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dari pihak-pihak yang bersangkutan.
2)     Ayah kandung yang tidak pernah melakukan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah lain.
Yang dimaksud dengan keturunan lurus keatas adalah ayah atau kakek seterusnya keatas tanpa diselingi orang perempuan. Sedangkan keturunan lurus kebawah adalah anak, anak dari anak (cucu) seterusnya kebawah. Selanjutnya wali pengampu tidak lain maksudnya adalah orang yang telah memeliharanya sejak ia belum dewasa. Adapun terhadap penyataan pihak-pihak yang bersangkutan disini adalah para pejabat atau pencatat nikah yang bertugas mengurusi masalah perkawinan.[14]
b.       Uapaya hukum dan prosedur pencegahan perkawinan
Pasal 64: pejabat yang ditunjukuntuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipatuhi.
Disini yang dimaksud dengan mengawasi perkawinan adalah memeriksa dan memproses, meneliti rukun dan syarat perkawinan. Penelitian terhadap rukun dan syarat perkawinan termasuk didalam mengenai kemungkinan termasuk dalam larangan perkawinan sebagaimana diatas telah dijelaskan. Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan tidak lain adalah pegawai pencatat nikah. Pengajuan pencegahan perkawinan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.

Pasal 66 :Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pencegahan perkawinan dapat dicabut oleh pihak yang mengajukannya sebelum putusan ditetapkan oleh Pengadilan Agama. Pencabutan dimaksud adalah dengan menarik kembali permohonan pencegahan perkawinan oleh pihak yang mengajukan permohonan atau dengan adanya putusan Pengadilan Agama (penetapannya) setelah memeriksa berkas perkara.[15]

D.   Pembatalan dan Perjanjian perkawinan
1.    Pembatalan Perkawinan
Pencehagan dan pembatalan perkawinan dapat dilakukan jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hal pencegahan, perkawinan belum dilangsungkan dan dalam hal pembatalan perkawinan sudah dilangsungkan.
Dalam pasal 70 Perkawinan batal apabila :
1)     Suami melakukan perkawinan sedang dia tidak berhak untuk melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam masa iddah raj’i.
2)     Seseorang  menikahi bekas istrinya yang telah di ahli waris’annya
3)     Seseorang menikahi bekas isrtinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis massa iddahnya.
4)    Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang mengahalangi perkawinan. Menurut pasal 8 Undang-undang No. 1 tahun 1974 :
a.      Berhubungan darah dalam garis lurus kebawah atau keatas
b.       Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
c.       Berhubungan dengan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
d.      Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua seusuan, anak sesusuan, saudara sesususan dan bibi atau paman sesusuan.
5)     Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau isrti-istrimya.
Dalam pasal 71 suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
1)     Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama
2)     Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain
3)     Perempuan yang dikawini ternyata masih  dalam massa iddah dari suami lain
4)    Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 tahun 1974
5)     Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
6)    Perkawinan yang dilaksankan dengan paksaan
Memahami konteks demikian, apa yang telah disebut KHI pada pasal 70 tersebut yang dimaksud tidak lain hanya menerangkan ketentuan hukum mengapa sebuah perkawinan batal demi hukum karena sebab mengenai batalnya perkawinan sebagaimana yang dirincikan pasal tersebut. Dengan demikian, segala praduga setiap orang tidaklah menjadikan dengan sendirinya batal perkawinan tersebut tetapi harus sudah dibuktikan secara yuridis legal melewati lembaga hukum Peradilan Agama yang memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, menyangkut benar tidaknya permohonan perkawinan tersebut.[16]
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat kedua suami istri, suami atau istri. Pembatalan perkawinan dapat pula diajukan oleh wali nikah. Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian. Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Berlakunya pembatalan perkawinan dimuat didalam pasal 28 UU perkawinan yaitu :
1)     Batalnya suatu perkawinan dimulai setalah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
2)     Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a.      Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
b.       Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dulu.
c.       Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.[17]

2.   Perjanjian Perkawinan
a.      Perjanjian dan materi hukum
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon mempelai pria dan wanita. KHI dalam hal ini mengatur secara rinci.
Pasal 45 : kedua mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
(1)isi taklik talak dan
 (2) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam.
Pasal 46 :
1)     Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam,
2)     Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya tidak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
Dalam KHI pasal 1 huruf (e) dijelaskan tentang pengertian taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa perjanjian talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Fiqh islam sebagaimana yang dikonformasikan para ulama sepakat bolehnya melakukan taklik yakni talak dengan sumpah (lilqosam) dan taklik talak bersyarat.
Dalam Akta Nikah yang dikeluarkan KUA di Indonesia, sighat taklik talak merupakan janji suami terhadap istrinya bahwa jika ia sewaktu-waktu melakukan :
1.      Meniggalkan istrinya selama dua tahun berturut-turut
2.      Tidak memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan berturut-berturut
3.      Menyakiti badan atau jasmani istrinya
4.     Membiarkan (tidak memperdulikan) istrinya selama enam bulan[18]
Kemudian karena tidak redha, istrinya mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan diterima pengaduannya dengan membayar uang pengganti (iwadh) sebear Rp. 1000, maka jatuhlah talak satu kepadanya.
Kenyataan perincian sighat taklik tersebut telah diisyaratkan dalam pasal 46 (2) bahwa talak akan sungguh-sungguh jatuh adalah setelah diajukan kepada Pengadilan Agama. Taklik talak sendiri tidak dengan sendirinya jatuh kecuali jika pihak istri mengajukan halnya ke Pengadilan Agama.
Apabila diperhatikan isi sighat taklik tersebut dalam akta nikah maka akan jelas bahwa tujuan taklik talak tersebut sifatnya untuk membela kepentingan wanita dalam hal ini ia telah dilindungi secara hukum dimana pihak suami dengan perjanjian tersebut tidak dapat sewenang-wenang terhadap dirinya.
Dalam pasal 45 KHI menyatakan bahwa perjanjian perkawinan bukan hanya taklik talak. Tetapi boleh pula dengan perjanjian perkawinan lainnya mengenai kehidupan rumah tangga selama tidak beertentangan dengan hukum islam.[19]

b.       Aspek perjanjian perkawinan lainnya
Dalam pasal 45 ayat (2) yang mengisyaratkan bolehnya melakukan perjanjian perkawinan lainnya selain taklik talak selama tidak bertentangan dengan hukum islam, ternyata yang menjadi perhatian KHI dalam penjabaran pasal selanjutnya (pasal 47-52 KHI) adalah perjanjian mengenai harta bersama. Ada beberapa rincian yang dapat dipahamkan dari keseluruhan pasal-pasal dimaksud yaitu :
1.      Perjanjian perawinan yang diatur secara khusus adalah mengenai harta bersama dapat meliputi :
a.      Percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing
b.       Menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat
c.       Percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh selama perkawinan secara masing-masing atau hanya membatasinya pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan.
2.      Kedudukan dan keberdaan hukum dan akibat hukum
a.      Perjanjian perkawinan dapat dilakukan sebelum atau sesudah perkawinan dilangsungkan
b.       Perjanjian tersebut dibuat secara tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
c.       Perjanjian dimaksud telah mengikat para pihak sekaligus juga dapat dicabut pula perjanjian tersebut atas kehendak suami istri
d.      Bagaimana isi perjanjian adalah tidak bertentangan dengan hukum islam dan pihak suami selamanya tetap berkewajiban memenuhi  kewajibannya sebagai suami tanpa terganggu dengan perjanjian dimaksud
e.       Pelanggaran suami terhadap perjanjian dapat dijadikan alasan pembatalan nikah di Pengadilan Agama.
3.      Perjanjian tersebut dapat pula dilakukan terhadap istri kedua, ketiga atau keempat  tentang tempat kediaman, waktu, giliran, biaya rumah tangga. [20]









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Perkawinan Islam adalah perkawinan yang didasarkan atas hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam yang terkait dengan pernikahan (Fiqh Munakahat). Materi Fiqh Munakahat sudah diadopsi ke dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan  seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.  Sedamgkan Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu yang sangat kuat atau mistaqon gholizon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanaknnya adalah ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Pada dasarnya setiap laki-laki muslim dapat saja kawin atau nikah dengan wanita yang disukainya. Tetapi segera harus disebutkan bahwa prinsip itu tidak belaku mutlak, karena ada batas-batasnya.Dalam KHI perkawinan tidak hanya dituntut memenuhi syarat-rukun perkawinan tetapi juga harus memenuhi ketentuan administratif hukum yaitu tercatat dalam catatan perkawinan yaitu dibuktikan dengan Akta Nikah, untuk ketertiban perkawinan (pasal 5). Yang paling mendasar dari pencatatan (administratif) di Kontor Urusan Agama (KUA). Pencegahan perkawinan merupakan upaya hukum untuk melindungi setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan dari berbagai tindak hukum yang menyimpang dari aturan hukum islam maupun perundang-undangan.Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat. Ini berarti bahwa perkawinan itu dilarang bila tidak memenuhi syarat-syarat, sedang perkawinan semacam itu sudah terlanjur terlaksana, dapat dibatalkan.Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon mempelai pria dan wanita.




DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, Abd. Abdul Wahab, Adopsi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gaung Persada, 2010
Daud, Mohammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
Sarmadi, Sukris, Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum Perdata islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2007
Ichsan,  Achmad, Hukum  Perkawinan, Jakarta : PT Pradnya Paramita  1987
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 2010




[1]  Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010) hal. 6-7
[2]Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Gaung Persada, 2010) hal. 38-39
[3] Sudarsono. Op. Cit. hal. 9
[4]Sukris Sarmadi, Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum Perdata islam di Indonesia, ( yogyakarta: Pustaka Prisma, 2007) hal. 18
[5]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 20
[6]Sudarsono. Loc. it. hal. 7-8
[7]  Ibid. Hal 9
[8]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 30-35
[9]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 37-39
[10] Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 5
[11]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal.  52-55
[12]Sukris Sarmadi. Loc . it. hal. 48-49
[13] Achmad ichsan, Hukum  Perkawinan, (Jakarta : PT Pradnya Paramita  1987 )  hal.  33-34
[14]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 78- 81

[15] Ibid. hal. 82-84
[16]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 85-87
[17]Sudarsono. Op. Cit. hal. 106-109
[18]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 57- 58
[19] Ibid. hal. 59-60
[20]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 62-63

TUGAS AKHIR HADIS  AHKAM 


BAB I



Pendahuluan




Di susunya karya tulis ini berdasarkan maraknya persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat mengenai “NIKAH MUT’AH”  penulis bertujuan menyampaikan beberapa pemahaman tentang Nikah Mut’ah , baik dari segi arti dan penjelasannya. Beberapa pendapat para ulama , dan beberapa dalil-dalil yang menjelaskan Nikah Mut’ah , baik bersifat mendukung ataupun bersifat menentang , yang di kutip dari beberapa kitab-kitab hadis shahih.




Banyak yang beranggapan bahwa nikah mut’ah masih di perbolehkan pada masa Rasulullah , sahabat dan khalifah hingga saat ini. Bahkwan untuk para pengikut Mazhab Syi’ah Nikah Mut’ah atau Nikah Kontrak di halalkan. Entah berdasarkan dalil Al-qur’an ataupun dari hadis-hadis yang dapat memperkuat pendapat ulama-ilama syi’ah .  Berikut penjelasannya  yang akan penulis sampaikan di dalam karya tulis ini.




 




 




 




 




 




 




 




 




 




 




 




 




BAB II




Pembahasan




A.Pengertian Nikah mut’ah




Nikah mut’ah adalah Kawin sementara atau kawin terputus yaitu orang lelaki mengadakan akad dengan perempuan untuk untuk sehari , seminggu , atau sebulan. Dan di namakan mut’ah karena orang lelaki memanfaatkan dan menikmati perkawinan serta bersenang-senang hingga tempo yang telah di tentukan waktunya. Imam-imam mazhab tentang keharamannya. [1]




(يا ايُّهاَ انِّاَ سُ إنّي ڬُنْتُ اَذِ نْتُ لَڬُمْ فِي اِلا سْتِمْتَاعِ اَلاً وَ اِنّ الله قَدْ حَرّ مَهَا اِلىَ يَوْمِ القِيَا مَةِ)




Hai sekalian manusia, pernah kuizinkan kalian melakukan kawin mut’ah . ketahuilah , sesungguhnya allah telah mengharamkan hingga akhir kiamat ”.( H.R Ibnu Majah)[2]




Penulis: Mut’ah artinya bersenang-senang, adapun nikah mut’ah yaitu suatu pernikahan yang bertujuan hanya untuk bersenang-senang dengan di batasi waktunya. Pengertian dari pernikahan sendiri adalah.suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam suatu ikrar yang menghalalkan hubungan mereka. Yang mana bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa[3]. Serta yang menjadi tujuan awal adalah memiliki keturunan yang soleh dan sholehah. Jika di lihat dari pengertian dan tujuan nikah mut’ah , sangat bertentangan dengan apa yang telah digambarkan dalam Al-qur’an mengenai pernikahan. Karna nikah mut’ah bertujuan hanya untuk bersenang-senang dan melampiaskan hawa nafsu sesaat. Dan itu  sangat merugikan bagi pihak perempuan saja, wanita yang di nikah mut’ah (kontrak) akan di tinggalkan apabila telah habis masa perjanjian atau habis kontraknya tanpa ada kewajiban untuk memberi nafkah pada masa iddahnya, Sungguh sangat merugikan bukan?




Nikah tidak sah dengan di batasi berlakunya, baik pembatasan waktu yang maklum atau tidak sebab ada kesahihan larangan dalam nikah Mut’ah (kawin kontrak), yaitu kawin yang di batasi waktu pertaliannya, sekalipun seribu tahun.[4]




Nikah mut’ah yang di lakukan oleh bangsa Arab terdahulu apabila seseorang datang ke suatu daerah  untuk beberapa waktu dan sama sekali tidak mempunyai kenalan untuk menjaga rumahnya. Dia akan mengawini wanita yang ada di daerahnya untuk menenaminya dan menjaga rumahnya selama dia berada di daerah tersebut. Sehingga wanita tersebut dan akan menjadi istrinya serta menjaga rumah suaminya. [5]




Penulis : Adapun nikah mut’ah yang di lakukan pada masa Nabi dan khalifah . pada saat penaklukan kota mekkah (Perang Khaibar). Di takutkan apabila susah bagi laki-laki menahan syahwatnya ketika jauh dari istri-istrinya dalam waktu yang cukup lama. Untuk menghindari akan timbulnya zinah dari ketidak sanggupan mereka menahan hawa nafsunya. Maka rasulullah memperbolehkan kawin mut’ah tersebut dalam hal-hal yang di anggap darurat saja. Berangsur-angsur larangan nikah mut’ah tersebut di larang ketika bayak yang melakukan nikah mut’ah secara berlebih-lebihan. Sampai pada kepemimpinan khalifah Umar, bahwa kawin mut’ah ini sudah benar-benar di haramkan sampai hari kiamat.  




عَنْ قَيْسِ قَا لَ سَمِعْتُ عَبْدَ ا للهِ يَقُوْ لُ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ صل ا لله عليه و سلم لَيْسَ لَنَا نِسَاءُ فَقُلْنَا ألَا نَسْتَخْصِي فَنَهَا نَا عَنْ زَلِكَ ذَ ثُمَّ رَخِّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِثَّوْبِ إِلىَ أَ جَلِ ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ اللهِ (ياَ أَيُّها الذِ يْنَ اَمَنُوا لاَ تُحَرِّ مُوا طَيِّبَاتِ مَا أَ حَلَّ ا للهُ لَكُمْ وَ لَا تَتَدُوإِنَّ ا للهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِ ينَ)




“Di riwayatkan dari Qais ia mengatakan “Aku pernah mendengar Abdullah bin Mas’ud , ia menuturkan, “kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah tanpa membaawa isteri kami bertanya kepada beliau, “Boleh kami berbuat semaunya untuk melampiaskan syahwat kami ? Terbyata beliaumelarang kami dari ysang demikian itu. Kemudian belaiu member dispensasi kepada kami untuk menikahai  perempuan dengan mahar pakaian, dalam jangka waktu tertentu. Kemudian Abdullah Ma’sud membaca firman Allah. “YAA AYYUHAL LADZIINA AAMANUU LAA TUHARRIMUU THAYYIBAATI MAA AHALLALLAAHU LAKUM WA LAA TA’TADUU INNALLAAHA YUHIBBUL MU’TADIN (wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas.)(Muslim IV:130)[6]




Para ulama Mazhab sepakat bahwa nikah mut’ah itu haram hukumnya[7]. Alasan mereka yaitu : Pertama : kawin seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan dengan yang di maksudnkan oleh al-Qur’an. Kedua ; Banyak hadits-hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya. Ketiga : ketika sahabat yaitu Umar menjadi khalifah dan ia berpidato di atas mimbar dan mengharamkannya dan para sahabat pun menyetujuinya. Keempat : Al-khatthabi berkata : haramnya kawin mut’ah itu sudah ijma’, kecuali oleh beberapa golongan syi’ah. Kelima : kawin mut’ah sekedar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak-anak, yang keduanya merupakan maksud pokok dari perkawinan. Baihaqi meriwayatkan dari ja’far bin Muhammad. Ia di Tanya tentang mut’ah , ja’far menjawab  “Mut’ah sama dengan zinah.“




 




وَعنه رضى ا الله تعا لى عنه : اَن رسول ا الله صل الله عليه و سلم نهى عَنْ مُتعَةِ ا لِنِّسَا ءِ وَعَنْ اَكْلِ اْلحُمُرِ اْلأَ هْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ. أَخْرَجَحُ السّبْعَهُ إِلَّاأَبَا دَاوُدَ.




Dari padanya r.a “Bahwasanya Rasulullah s.a.w melarang kawin untuk sementara waktu, dan makan keledai kampung pada perang khaibar”. Di riwayatkan oleh imam tujuh kecuali Abu Daud”. [8]




Penulis : beberapa ulama sependapat dengan di haramkannya kawin mut’ah tersebut, lain halnya dengan golongan syi’ah Imamiyah yang mengatakan kawin mut’ah itu boleh. Menurut mereka kawin mut’ah tidak hanya terjadi pada masa nabi dan Abu Bakar. Tetapi juga pada masa pemerintahan kholifah Umar sampai saat ini.Para ulama Sunni dan Syi’I sepakat bahwa nikah mut’ah, berdasarkan keputusan Nabi saw, adalah Halal. Dan bahwasanya kaum muslimin telah melakukannya pada masa hidup beliau. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ada atau tidaknya naskh (penindak berlakuan hukum). Mazhab sunni mengatakan bahwa kawin mut’ah telah di hapuskan dan di haramkan sesudah pernah di halalkan.




اِسْتَمْتَعَ ا لاَ صْحاَ بُ فِى عَهْدِ رَسُلُ اللهِ وَ اَبى بَكْرِ وَ عُمَرَ




Para sahabat di masa Nabi Saw, melakukan mut’ah demikian juga di masa Abu bakar dan Umar”, (Shaih Riwayat Muslim).[9]




Penulis : Sementara itu Syi’ah berpendapat bahwa naskh seperti itu tidak ada . dengan demikian kawin muit’ah  dulu di halalkan dan dan tetap di halalkan hingg akhir kiamat  ptongan ayat al-qur’an yang di jadikan alasan mazhab syi’ah dalam menghalalkan kawin mut’ah .




Q.S An-Nisa : 24




4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù                 




24. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (mut’ahi) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. [10]




Dari berbagai penjelesanan perbedaan pendapat mengenai sah atau tidaknya, haram dan halalnya kawin kontrak tersebut. Lalau bagaimana jika selama kawin kontrak itu berlangsung dan sampai menghasilkan seorang anak. Bagaimana perdebatan mengenai status anak hasil mut’ah ?  




Sebagaimana yang telah di jelaskan di dalam kitab Fiqih Lima Mazhab bawha para ulama Mazhab berpendapat bahwa , Anak mut’ah adalah anak yang sah berdasrakan syara’dia memiliki semua hak yang dimiliki anak-anak yang sah pada lainnya. Tanpa ada pengecualian , baik hak-hak syari’ maupun moral.[11]




 




 




 




BAB III




Penutup




Kesimpulan




            Jadi nikah mut’ah atau kawin kontrak adalah , sutau pernikahan yang mana tujuannya hanyalah untuk bersenang-senang dengan di batasi waktunya, bisa sehari, seminggu, atau sebulan. Dan seorang laki-laki wajib memberikan maharnya kepada wanita yang di nikahinya (mut’ahnya) sebagaiamana yang biasa di lakukan dalam pernikahan permanen. Jangka waktu dalam pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan persetujuan yang telah di sebutkan  pada saat ijab dan qabulnya. Pernikahan ini berakhir tanpa ada talaq dari suami. Setelah istri




            Setelah penulis menjelaskan beberapa hal mengenai kawin mut’ah  atau nikah kontrak . dapat kita pahami bahwa pada dasrany nikah mut’ah tersebut memang sudah ada , bahkan dari pengikut rasul dalam berperangpun ada yang melakukannya (kawin mut’ah). Karna di khawatirkannya ketidak sanggupupan seorang lelaki menahan keinginan syahwatnya pada saat mereka berada jauh dari istri-istrimereka dalam waktu yang lama. Sehingga dalam hal seperti itu atau dalam hal mudharat kawin mut’ah teresebut di halalkan.




 




 




 




 




 




 




 




 




 




 




 




 




Daftar Pustaka




Al-jamal Muhammad  Ibrahim, fiqih muslimah (Jakarta:.Pustaka Amani, 1994)




Abdul Aziz Al-Malibari  bin Asy-syekh Zainuddin . Fathul Mu’in. (Surabaya :Al-Hidayah 1993)




 




Muslehuddin Muhammad.(M Asy’ari dan Syarifuddin Syukur) Mut’ah. (Surabaya :PT.Bina Ilmu Cet. 1 ,1987).




 




Nasrehuddin Al-bani Syaikh Muhammad. Ringkasan ahahih muslim.(Jakarta : pustaka As-sunnah.2009)




 




 Sabiq Sayyid (di terjemahkan oleh Moh. Thalib).Fiqih Sunnah 6. (Bandung : PT. Al-    




 ma’ruf.jalan:Tomblong.no.48-  50.1993).




 




Sukandy  sjarief Muh. Tarjamah Bulughul Maram (Bandung : PT. Al-ma’arif cet ke 4. 1980 )




 




Mughniyah Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta:penerbit Lentera,2000).




 




 






[1] Ibrahim Muhammad Al-jamal, fiqih muslimah (Jakarta:.Pustaka Amani, 1994). Hal 263

[2] Ibrahim Muhammad Al-jamal, fiqih muslimah (Jakarta:.Pustaka Amani, 1994). hal 264

[3] UUD NO 1 Tahun 1974

[4] Asy-syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. Tarjamah Fathul Mu’in. ( Surabaya :Al-Hidayah 1993). Hal 23

[5] Muhammad Muslehuddin.(M Asy’ari dan Syarifuddin Syukur) Mut’ah. (Surabaya :PT.Bina Ilmu Cet. 1 ,1987).hal 3

[6] Syaikh Muhammad nashiruddin Al-bani. Ringkasan ahahih muslim.(Jakarta : pustaka As-sunnah.2009)hal 517

[7] Sayyid sabiq (di terjemahkan oleh Moh. Thalib).Fiqih Sunnah 6. (Bandung : PT. Al-ma’ruf.jalan:Tomblong.no.48-  50.1993).hal 58

[8] Muh. Sjarief Sukandy Tarjamah Bulughul Maram (Bandung : PT. Al-ma’arif cet ke 4. 1980 )hal 23

[9] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta:penerbit Lentera,2000). Hal 394

 

[10] Al-qur’an Digital

[11] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta:penerbit Lentera,2000). Hal 394



 

Randa Agustina Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea